Senin, 21 Januari 2019

Di Beranda

Surat Ke Empat
Ibu Kota, 21 Januari 2019

Kepada : Kau dan Aku yang tak pernah sama
Dari : Seseorang yang kau kenal

Halo! apa kabar? belum lama rasanya sejak terakhir kali aku menulis surat untukmu. Saat ini angka terakhir dari tahun yang ku tulis disebelah bulan dan tanggal terlah berganti, artinya tahun baru telah dimulai. Bagaimana keadaanmu? dari pengamatanku sepertinya kau tak banyak berubah. Badanmu tetap tegap, bicaramu tetap lembut,  dan masih sibuk seperti biasanya. Hanya saja, aku melihat ada kilat cahaya baru dalam bola mata cokelat itu. Kilatan yang pernah aku saksikan ketika kau memandang "dia". Walau tak secara langsung diri ini berada didekatmu, namun yang aku rasa dan aku pahami adalah begitu adanya. 

Kau bertemu seseorang? bagaimana dia? apakah dia baik? apakah dia lucu? apakah dia pengertian?
apakah dia...? Maaf, aku meracau lagi. Bukan kuasaku untuk bertanya hal demikian padamu. Aku senang kau bertemu dengan seseorang dan aku selalu begitu. Apakah dia baik? karena kau pantas mendapatkan seseorang yang baik. Apakah dia lucu? karena kau pantas mendapat seseorang yang mampu menghiburmu kala kau terjatuh. Apakah dia pengertian? karena kau pantas mendapatkan seseorang yang mengerti dirimu sepenuhnya.

Aku disini masih sama. Diliputi badai, badai dari bayang-bayang memori yang  tak seberapa harganya untukmu, namun segalanya bagiku. Menyusuri ibukota dengan belaian lembut udara senja di pusat  kota, mengambil beberapa gambar dari sebuah kamera yang kau cengkram seolah kamera itu istrimu. Pohon, bangunan, anak kecil, kendaraan, dan apapun itu yang menurutmu unik, tak akan lepas dari jepretan kamera. Dengan aku, yang berjalan bersisian denganmu sambil sesekali mencuri pandang kala kau tersenyum melihat seorang anak perempuan cantik yang berlari kesana-kemari mengejar bayangannya sendiri. Lantas, sore itu menjadi cukup sempurna dimasanya. 

Badaimu mungkin telah berlalu, namun tidak dengan badaiku, badai ini. Kenangan yang bahkan terlihat sederahana dan tak bernilai seolah menghantuiku. Menyeret pikiran kusut ini kedalam sajak-sajak indah yang tercipta kala aku menapaki perjalanan bersamamu. Menggulung segala akal sehat yang ku ciptakan dari benturan realita menjadi sebuah bundelan benang kusut tanpa pangkal. Menjelajahi alam pikran dan membajaknya menjadi dunia utopis buah kreativitas khayalan hati yang rapuh. 

Sebuah kesalahan besar bagiku memilih memori itu untuk kembali terulang bahkan walau hanya dalam benak. Banyak hal yang ingin aku sampaikan padamu kala itu. Satu kalimat yang ingin sekali ku ucap kala itu "Jangan pernah  berubah". Nyatanya lidahku kelu, karena aku tahu kalimat itu hanya akan menjadi ucapan sia-sia belaka, karena pada hakekatnya tak ada manusia yang tak berubah. Kala itu yang ku tanam dalam hati hanya sebatas, nikmatilah selagi kau disini karena tiba waktunya kau akan pergi. 

Dan benar saja, segalanya hanya bisa menjadi memori. Tak akan ada lagi sore seperti kala itu. Tak ada lagi bunyi jepretan dari istri kameramu. Tak ada lagi senyum lugu itu. Dan terakhir, tak ada lagi jalan yang bisa ku lalui bersisian denganmu. 

-s-



[Tanda Tanya] Di tepian aku sedang menjamu Pilu yang rampung diramu Mencoba berkelakar dengan kalbu Berdesing menggapai sendu Sudah a...