Minggu, 14 April 2019

Daun kering

Ibu Kota, 12 April 2019
Surat ke lima

Kepada : Kau dan Aku yang tak pernah sama
Dari : Seseorang yang kau kenal

Selamat pagi/siang/sore/malam kapanpun akhirnya surat ini sampai di tangan mu, walaupun tidak akan pernah begitu. Apa kabar? tiga bulan sejak suratku yang terakhir. Sebuah rutinitas bagiku untuk menulis surat ini padamu kala tak ada satupun orang yang bisa diajak bicara. Apakah kau masih bersedia mendengarkan aku untuk bercerita? Sementara, pikiranku kacau sekali. Seperti porak poranda, banyak hal yang tak dapat ku jelaskan pada siapapun tapi rasanya semua ini erat membelenggu diriku. Seperti ada pusaran ombak yang menyeretku pada waktu-waktu kelam tiada pangkal. Apakah kau percaya? untuk tetap bertahan dan berdiri di kaki sendiri sungguh sulit, dimana tak ada satupun yang dapat diajak bicara. Haruskah aku terus begini? Dibelenggu perasaan-perasaan yang membuatku semakin terpuruk.

Surat ini rasanya tak akan merangkai cerita, hanya berisi racauan dan keresahanku. Keresahan ini tak pernah bisa ku tuangkan dalam rangkaian aksara seperti biasanya. Semuanya membelenggu, ya tiba-tiba saja begitu. Aku merasa sendiri di tengah keramaian. Bahkan terkadang aku mengasingkan diri dari keramaian. Entah apa yang merasuki ku, tapi untuk saat ini aku merasa lebih nyaman untuk sendiri. Tetapi dibalik itu semua aku sangat membutuhkan seseorang yang setidaknya bisa ku ajak bertukar cerita. Maafkan, surat ini tak terstruktur seperti biasanya, orang yang tak paham pasti akan bingung membaca surat ini, namun aku yakin tidak denganmu, kau pasti paham dengan apa yang terjadi

Aku tak pernah melihat bulan seterang akhir-akhir ini. Aku tak pernah melihat matahari seterik akhir-akhir ini. Aku tak pernah merasakan dinginnya dirimu separah akhir-akhir ini. Dan aku sungguh tak tahu apakah yang harus aku lakukan, kemana lagi aku harus "pulang". Aku sadar bahwa semakin kita dewasa, akan semakin banyak problematika rumit dan semakin sedikit orang yang bisa diajak bicara. Aku merasa semua orang berubah dan rasanya semuanya tidak tepat. Semakin sedikit tempat yang bisa dikunjungi kala diri merasa berantakan. Semakin sedikit waktu yang dapat digunakan untuk bertemu. Semakin sempit ruang gerak bahkan hanya untuk bernafas.

Aku kecewa dan marah, pada diriku. Begitu mudahnya aku menggantungkan harapan pada orang lain, padamu. Padahal aku tahu bahwa adalah hal yang sia-sia bergantung pada manusia. Sekiranya, apakah aku perlu menghentikan perjalanan ini?

Sungguh, kali ini aku kacau.
Bacalah sekali lagi surat ini, sungguh kali ini aku kacau.
-S-

Image result for kepala singa png

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

[Tanda Tanya] Di tepian aku sedang menjamu Pilu yang rampung diramu Mencoba berkelakar dengan kalbu Berdesing menggapai sendu Sudah a...