[Tanda Tanya]
Di tepian aku sedang menjamu
Pilu yang rampung diramu
Mencoba berkelakar dengan kalbu
Berdesing menggapai sendu
Sudah aku katakan,
Tamu itu hanya angan
Datang tuk merobek kesepian
Hilang dan meninggalkan kegetiran
Ku jamu di tepian lagi
Luka penuh elegi
Menjamur bagai alergi
Terakhir, dia pergi
Selalu ku bertanya
Dapatkah ku simpan segalanya?
Nyatanya, tak dapat ia rasakan
Segalanya sudah tertinggal
Sudahlah, cukup untuk kata-kata
Jangan taburi garam di atas luka
biarlah begitu saja
Jadikan ia sebagai tanda tanya
-s-
POHON OAK
Berkawanlah dengan pena maka sesungguhnya pena itu akan lebih tajam dari sebilah pedang. -s-
Sabtu, 25 Januari 2020
Kamis, 30 Mei 2019
Hanya Aku,
Kala diam, semilir angin membuai
Terlena memaksa dalam hampa
Hati bergetar laksana suang kering membungkam
Ikan-ikan penuh dahaga
Aku, tahu dia
Tahu sepenuhnya..
Tahu Jawabannya.
Aku hanya mencoba untuk tertawa
Mengubah akhir segalanya
Karena bila ia berbalik hancur semua
Diam berdampingan
Dibelai bunga elok berduri
Menusuk hati
Menunggu takdir,
Penuh, mencibir
Dan, hadir!
Silahkan adu..
Hanya aku, yang akan tetap merindu
Silahkan uji..
Hanya aku, yang akan tetap berdiri
Aksara mulai terukir
Ada rasa yang mendamba,
Pada malam tengah bulan.
[Dan bagi mereka yang pergi aku hanya bisa berharap mereka tak lupa untuk Kembali]
-Ibu Kota, 10 Maret 2016-
Kala diam, semilir angin membuai
Terlena memaksa dalam hampa
Hati bergetar laksana suang kering membungkam
Ikan-ikan penuh dahaga
Aku, tahu dia
Tahu sepenuhnya..
Tahu Jawabannya.
Aku hanya mencoba untuk tertawa
Mengubah akhir segalanya
Karena bila ia berbalik hancur semua
Diam berdampingan
Dibelai bunga elok berduri
Menusuk hati
Menunggu takdir,
Penuh, mencibir
Dan, hadir!
Silahkan adu..
Hanya aku, yang akan tetap merindu
Silahkan uji..
Hanya aku, yang akan tetap berdiri
Aksara mulai terukir
Ada rasa yang mendamba,
Pada malam tengah bulan.
[Dan bagi mereka yang pergi aku hanya bisa berharap mereka tak lupa untuk Kembali]
-Ibu Kota, 10 Maret 2016-
Selasa, 16 April 2019
[Bukan puisi]
Tanpa sengaja terselip rasa
Di sela huruf pada kata
Terangkai aksara tanpa makna,
Padu padan seadanya
Apa kabar yang hilang?
Telah ku temukan makna mu
Dalam bait ini ku lukiskan
Terang dan redupnya kedaaan
Pekak telingaku
Kusut pikiranku
Riuh perihal rasa menyapu nalar
Padahal sunyi dihati
Kau manusia, tuan yang hilang
Dan akan terus tiada
Atau sebelumnya tak pernah ada
Hanya diangan ku kau hidup dan nyata?
Kacau balau
Jangan, jangan, jangan
Kau bilang jangan
Jangan apa?
Jangan menyimpan rasa,
Perihal itu bukan kuasaku
Yang ku takutkan nyatanya terjadi
Jangan, jangan, jangan!
Salah lagi,
Jadi elegi kesekian kali
Sayang ini bukan perihal
"Kita coba lagi"
-s-
Tanpa sengaja terselip rasa
Di sela huruf pada kata
Terangkai aksara tanpa makna,
Padu padan seadanya
Apa kabar yang hilang?
Telah ku temukan makna mu
Dalam bait ini ku lukiskan
Terang dan redupnya kedaaan
Pekak telingaku
Kusut pikiranku
Riuh perihal rasa menyapu nalar
Padahal sunyi dihati
Kau manusia, tuan yang hilang
Dan akan terus tiada
Atau sebelumnya tak pernah ada
Hanya diangan ku kau hidup dan nyata?
Kacau balau
Jangan, jangan, jangan
Kau bilang jangan
Jangan apa?
Jangan menyimpan rasa,
Perihal itu bukan kuasaku
Yang ku takutkan nyatanya terjadi
Jangan, jangan, jangan!
Salah lagi,
Jadi elegi kesekian kali
Sayang ini bukan perihal
"Kita coba lagi"
-s-
Minggu, 14 April 2019
Daun kering
Surat ke lima
Kepada : Kau dan Aku yang tak pernah sama
Dari : Seseorang yang kau kenal
Kepada : Kau dan Aku yang tak pernah sama
Dari : Seseorang yang kau kenal
Selamat pagi/siang/sore/malam kapanpun akhirnya surat ini sampai di tangan mu, walaupun tidak akan pernah begitu. Apa kabar? tiga bulan sejak suratku yang terakhir. Sebuah rutinitas bagiku untuk menulis surat ini padamu kala tak ada satupun orang yang bisa diajak bicara. Apakah kau masih bersedia mendengarkan aku untuk bercerita? Sementara, pikiranku kacau sekali. Seperti porak poranda, banyak hal yang tak dapat ku jelaskan pada siapapun tapi rasanya semua ini erat membelenggu diriku. Seperti ada pusaran ombak yang menyeretku pada waktu-waktu kelam tiada pangkal. Apakah kau percaya? untuk tetap bertahan dan berdiri di kaki sendiri sungguh sulit, dimana tak ada satupun yang dapat diajak bicara. Haruskah aku terus begini? Dibelenggu perasaan-perasaan yang membuatku semakin terpuruk.
Surat ini rasanya tak akan merangkai cerita, hanya berisi racauan dan keresahanku. Keresahan ini tak pernah bisa ku tuangkan dalam rangkaian aksara seperti biasanya. Semuanya membelenggu, ya tiba-tiba saja begitu. Aku merasa sendiri di tengah keramaian. Bahkan terkadang aku mengasingkan diri dari keramaian. Entah apa yang merasuki ku, tapi untuk saat ini aku merasa lebih nyaman untuk sendiri. Tetapi dibalik itu semua aku sangat membutuhkan seseorang yang setidaknya bisa ku ajak bertukar cerita. Maafkan, surat ini tak terstruktur seperti biasanya, orang yang tak paham pasti akan bingung membaca surat ini, namun aku yakin tidak denganmu, kau pasti paham dengan apa yang terjadi
Aku tak pernah melihat bulan seterang akhir-akhir ini. Aku tak pernah melihat matahari seterik akhir-akhir ini. Aku tak pernah merasakan dinginnya dirimu separah akhir-akhir ini. Dan aku sungguh tak tahu apakah yang harus aku lakukan, kemana lagi aku harus "pulang". Aku sadar bahwa semakin kita dewasa, akan semakin banyak problematika rumit dan semakin sedikit orang yang bisa diajak bicara. Aku merasa semua orang berubah dan rasanya semuanya tidak tepat. Semakin sedikit tempat yang bisa dikunjungi kala diri merasa berantakan. Semakin sedikit waktu yang dapat digunakan untuk bertemu. Semakin sempit ruang gerak bahkan hanya untuk bernafas.
Aku kecewa dan marah, pada diriku. Begitu mudahnya aku menggantungkan harapan pada orang lain, padamu. Padahal aku tahu bahwa adalah hal yang sia-sia bergantung pada manusia. Sekiranya, apakah aku perlu menghentikan perjalanan ini?
Sungguh, kali ini aku kacau.
Bacalah sekali lagi surat ini, sungguh kali ini aku kacau.
-S-
Surat ini rasanya tak akan merangkai cerita, hanya berisi racauan dan keresahanku. Keresahan ini tak pernah bisa ku tuangkan dalam rangkaian aksara seperti biasanya. Semuanya membelenggu, ya tiba-tiba saja begitu. Aku merasa sendiri di tengah keramaian. Bahkan terkadang aku mengasingkan diri dari keramaian. Entah apa yang merasuki ku, tapi untuk saat ini aku merasa lebih nyaman untuk sendiri. Tetapi dibalik itu semua aku sangat membutuhkan seseorang yang setidaknya bisa ku ajak bertukar cerita. Maafkan, surat ini tak terstruktur seperti biasanya, orang yang tak paham pasti akan bingung membaca surat ini, namun aku yakin tidak denganmu, kau pasti paham dengan apa yang terjadi
Aku tak pernah melihat bulan seterang akhir-akhir ini. Aku tak pernah melihat matahari seterik akhir-akhir ini. Aku tak pernah merasakan dinginnya dirimu separah akhir-akhir ini. Dan aku sungguh tak tahu apakah yang harus aku lakukan, kemana lagi aku harus "pulang". Aku sadar bahwa semakin kita dewasa, akan semakin banyak problematika rumit dan semakin sedikit orang yang bisa diajak bicara. Aku merasa semua orang berubah dan rasanya semuanya tidak tepat. Semakin sedikit tempat yang bisa dikunjungi kala diri merasa berantakan. Semakin sedikit waktu yang dapat digunakan untuk bertemu. Semakin sempit ruang gerak bahkan hanya untuk bernafas.
Aku kecewa dan marah, pada diriku. Begitu mudahnya aku menggantungkan harapan pada orang lain, padamu. Padahal aku tahu bahwa adalah hal yang sia-sia bergantung pada manusia. Sekiranya, apakah aku perlu menghentikan perjalanan ini?
Sungguh, kali ini aku kacau.
Bacalah sekali lagi surat ini, sungguh kali ini aku kacau.
-S-
Senin, 21 Januari 2019
Di Beranda
Surat Ke Empat
Ibu Kota, 21 Januari 2019
Kepada : Kau dan Aku yang tak pernah sama
Dari : Seseorang yang kau kenal
Halo! apa kabar? belum lama rasanya sejak terakhir kali aku menulis surat untukmu. Saat ini angka terakhir dari tahun yang ku tulis disebelah bulan dan tanggal terlah berganti, artinya tahun baru telah dimulai. Bagaimana keadaanmu? dari pengamatanku sepertinya kau tak banyak berubah. Badanmu tetap tegap, bicaramu tetap lembut, dan masih sibuk seperti biasanya. Hanya saja, aku melihat ada kilat cahaya baru dalam bola mata cokelat itu. Kilatan yang pernah aku saksikan ketika kau memandang "dia". Walau tak secara langsung diri ini berada didekatmu, namun yang aku rasa dan aku pahami adalah begitu adanya.
Kau bertemu seseorang? bagaimana dia? apakah dia baik? apakah dia lucu? apakah dia pengertian?
apakah dia...? Maaf, aku meracau lagi. Bukan kuasaku untuk bertanya hal demikian padamu. Aku senang kau bertemu dengan seseorang dan aku selalu begitu. Apakah dia baik? karena kau pantas mendapatkan seseorang yang baik. Apakah dia lucu? karena kau pantas mendapat seseorang yang mampu menghiburmu kala kau terjatuh. Apakah dia pengertian? karena kau pantas mendapatkan seseorang yang mengerti dirimu sepenuhnya.
Aku disini masih sama. Diliputi badai, badai dari bayang-bayang memori yang tak seberapa harganya untukmu, namun segalanya bagiku. Menyusuri ibukota dengan belaian lembut udara senja di pusat kota, mengambil beberapa gambar dari sebuah kamera yang kau cengkram seolah kamera itu istrimu. Pohon, bangunan, anak kecil, kendaraan, dan apapun itu yang menurutmu unik, tak akan lepas dari jepretan kamera. Dengan aku, yang berjalan bersisian denganmu sambil sesekali mencuri pandang kala kau tersenyum melihat seorang anak perempuan cantik yang berlari kesana-kemari mengejar bayangannya sendiri. Lantas, sore itu menjadi cukup sempurna dimasanya.
Badaimu mungkin telah berlalu, namun tidak dengan badaiku, badai ini. Kenangan yang bahkan terlihat sederahana dan tak bernilai seolah menghantuiku. Menyeret pikiran kusut ini kedalam sajak-sajak indah yang tercipta kala aku menapaki perjalanan bersamamu. Menggulung segala akal sehat yang ku ciptakan dari benturan realita menjadi sebuah bundelan benang kusut tanpa pangkal. Menjelajahi alam pikran dan membajaknya menjadi dunia utopis buah kreativitas khayalan hati yang rapuh.
Sebuah kesalahan besar bagiku memilih memori itu untuk kembali terulang bahkan walau hanya dalam benak. Banyak hal yang ingin aku sampaikan padamu kala itu. Satu kalimat yang ingin sekali ku ucap kala itu "Jangan pernah berubah". Nyatanya lidahku kelu, karena aku tahu kalimat itu hanya akan menjadi ucapan sia-sia belaka, karena pada hakekatnya tak ada manusia yang tak berubah. Kala itu yang ku tanam dalam hati hanya sebatas, nikmatilah selagi kau disini karena tiba waktunya kau akan pergi.
Dan benar saja, segalanya hanya bisa menjadi memori. Tak akan ada lagi sore seperti kala itu. Tak ada lagi bunyi jepretan dari istri kameramu. Tak ada lagi senyum lugu itu. Dan terakhir, tak ada lagi jalan yang bisa ku lalui bersisian denganmu.
-s-
Sabtu, 03 November 2018
Ranting Rapuh
Surat Ke Tiga
Kepada: Kau dan Aku yang tak pernah sama
Dari : Seseorang yang kau kenal
Ibu kota, 3 November 2018
Dari : Seseorang yang kau kenal
Halo! apa kabar? sudah 5 bulan sejak onggokan suratku yang terakhir. Bagaimana keadaanmu? apakah baik? aku disini? agaknya sudah tak tahu batasan antara kabar baik dan buruk. Hanya ingin bercerita padamu bahwa aku sedang dalam keadaan yang tidak baik, rasanya semua berjalan tak sesuai dengan apa yang aku inginkan. Dahulu, ketika aku mengalami masa-masa seperti ini dirimulah yang selalu berada ditepi jalan dan "menjemput"ku dengan seluruh untaian aksara ajaib yang bisa membuatku berdiri lagi. "Tenang kamu pasti bisa, kamu orang terkuat yang pernah aku kenal, hal seperti ini hanya kerikil bagimu, kamu pasti bisa. Istirahatlah sejenak jika lelah, tetapi selesaikanlah apa yang sudah kamu mulai" seuntai kalimat yang selalu ku ingat darimu. Sesungguhnya sumber kekuatan itu berasal dari suntikan aksara yang kau rangkai dan ucapkan padaku.
Namun, ku rasa kekuatan waktu tak mampu untuk dikalahkan siapapun. Waktu yang membawa kita menebar jarak diantara kata, waktu yang menyeretmu ke dimensi yang lebih jauh, waktu yang mengubahku jadi rongsokan. Aku pikir waktu hanya perihal konspirasi, tapi nyatanya waktu bukan hanya omongan basa-basi. Aku kalah. Bisakah kau kembali? Hadir disini walau tak bisa menemani? Aku kehilangan, kehilangan setiap detik waktu hanya untuk melakukan kilas balik kala itu, dimana kau masih nyata.
Sepanjang jalan ini, aku terus dibodohi memori lawas bagai kaset pita dengan film yang kusut. Proyeksimu semakin nyata kala aku jatuh, mengulurkan tangan ketika aku tak sanggup untuk berdiri. Namun, ketika aku menggenggam tangan itu kau tak lagi ada disana. Perjalanan ini pernah ku hentikan karenamu, karena dirimu. Terjebak dengan zona nyaman akan kehadiranmu. Membuatku membuang waktu hanya untuk menunda kekalahan.
Sungguh, jika aku diberikan kesempatan aku hanya ingin meminta satu hari dimana aku bisa mengulang semua yang pernah kita lalui dahulu. Walau lebih banyak hitam dibanding putih tetapi aku merasa bahwa aku punya orang lain yang selalu ada disisiku. Kau pernah bilang bahwa kau tak akan pergi kemanapun, kau akan selalu berdiri ditempat yang sama kala pertama kita berjumpa. Namun, sudah lebih dari separuh waktu aku menunggumu di tempat itu tetapi bayanganmu tak pernah ku lihat ada disana.
Katamu semua akan baik-baik saja, tapi kenyataannya malah kau yang membuat segalanya menjadi tidak baik-baik saja. Aku masih terpaku disini, dibekukan memori dan berusaha menyembuhkan luka yang nyatanya tak semudah merangkai kata. Lantas apa? apakah aku masih harus bersabar? masih berkewajiban selalu terlihat baik-baik saja setiap saat? berlakon tangguh dan kuat? bahkan kala aku harus kehilangan dirimu, masih? apa masih?
Aku b e r a n t a k a n.
-s-
Jumat, 07 September 2018
Distopia
Dalam setiap kesempatan bertukar pandang, aku selalu berusaha menerawang jauh ke dalam pantulan cahaya bola mata cokelat itu, adakah aku di dalamnya? atau sekali saja bola mata itu balik menerawang jauh ke dalam pantulan cahaya bola mataku?
Di dalam sana, yang aku tahu terpatri seseorang yang tak akan pernah pergi, bukan aku tentu, yang lainnya.
Semuanya terasa menjadi abu kala itu. Seolah langkah tak lagi berkawan dengan raga diperjalanan, hanya terseok-seok dan tertatih tanpa tujuan.
Dulu, yang aku tahu bahwa kita saling mengerti dan memahami. Namun, saat ini aku hanya bisa mencarimu di dalam gelap, tak pernah sekalipun mengerti mengapa hal seperti saat ini bisa terjadi, jauh.
Suara derung dan klakson mobil kala melewati jalanan padat ibukota, tak pernah terdengar bising ditelingaku kala kulalui perjalanan bersamamu. Namun, saat ini musik indah yang mengalun lembut terdengar bising ditelingaku tanpa kehadiran dirimu.
Kurasa, sudah terlalu jauh perjalanan ini bila diakhiri hanya sampai disini. Aku ingin tetap melanjutkan perjalanan yang telah aku mulai. Meski begitu, tak akan pernah ku lupakan waktu dimana ada seseorang yang begitu berarti dan membuatku menghentikan perjalanan ini untuk sementara.
Dia, terbaik dari yang terbaik.
Mengantarkanku pada,
Distopia.
Langganan:
Postingan (Atom)
[Tanda Tanya] Di tepian aku sedang menjamu Pilu yang rampung diramu Mencoba berkelakar dengan kalbu Berdesing menggapai sendu Sudah a...
-
Daun kering Ibu Kota, 12 April 2019 Surat ke lima Kepada : Kau dan Aku yang tak pernah sama Dari : Seseorang yang kau kenal Se...
-
DISTOPIA Dalam setiap kesempatan bertukar pandang, aku selalu berusaha menerawang jauh ke dalam pantulan cahaya bola mata cokelat...
-
Surat Ke Tiga Ibu kota, 3 November 2018 Kepada: Kau dan Aku yang tak pernah sama Dari : Seseorang yang kau kenal Halo! apa kab...